Membaca Alkitab, Mendengarkan Firman Allah

Seri Kursus Kitab Suci Gereja St Iganitius Loyola,
Bahan pertemuan #01, dari tulisan -YM Seto Marsunu-

I Alkitab: Sabda Allah

Alkitab berisi Sabda Allah yang tertulis. Hal ini tidak berarti bahwa Allah mendiktekan kata demi kata kepada para nabi,. lalu mereka menuliskannya. Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa Allah menyatakan diri kepada manusia melalui alam semesta dan sejarah manusia. Orang beriman menangkap pernyataan diri  Allah itu lalu mengungkapkannya secara tertulis. Dalam mengungkapkan pernyataan diri Allah itu, para penulis suci mempergunakan kemampuan yang mereka miliki dan menggunakan cara-cara yang lazim pada tempat dan zaman mereka. Tulisan-tulisan itu kemudian dikumpulkan sehingga menjadi Kitab Suci. Jadi, dalam Alkitab tertulis Sabda Allah yang disampaikan dalam bahasa manusia. Dengan membaca Alkitab, orang beriman yang di zaman sekarang dapat mengenal Allah dan memahami apa yang dikehendakiNya.

Allah Menyatakan Diri-Nya

Alkitab memuat Sabda (yang diucapkan oleh) Allah. Orang tidak akan mengalami kesulitan untuk memahami hal ini ketika membaca Perjanjian Baru. Dalam lnjil-injil dengan jelas terungkap bahwa Yesus (Allah yang menjadi manusia) berbicara kepada orang-orang sezaman-Nya. Orang yang membaca injil akan segera dapat “mendengarkan” Allah bersabda. Tetapi, keyakinan bahwa Alkitab berisi Sabda Aliah membangkitkan berbagai pertanyaan ketika orang membuka Perjanjian Lama. Bagaimana mungkin Allah bersabda supaya orang membinasakan orang lain (Yos. 8,10, 11). Bagaimana mungkin Aliah melakukan balas dendam (1 Sam. 15)?

Kalau mendengar ungkapan “sabda Allah” atau “Allah bersabda,” kita perlu mengingat bahwa Allah tidak berbicara (bersabda) seperti manusia berbicara, kecuali Yesus, Allah yang menjadi manusia. Ungkapan “Allah bersabda” itu sebenarnya berarti Allah mengkomunikasikan/menyatakan diri dan kehendak-Nya sehingga dikenal dan dialami oleh. manusia. Bagaimana Allah yang tidak kelihatan menyatakan Diri dan kehendak-Nya itu? Melalui alam semesta yang diciptakan-Nya dan melalui sejarah kehidupan manusia di dunia.

  • Allah menciptakan alam semesta dan semua makhluk yang hidup di dalamnya. Di antara semua makhluk yang diciptakan-Nya, manusia menduduki tempat yang tertinggi. Ia memelihara seluruh ciptaan-Nya sehingga semuanya dapat hidup di alam semesta ini. Melalui dunia yang diciptakan-Nya, Allah memperkenalkan Diri-Nya dan menyatakan kehendak-Nya kepada manusia.
  • Kemudian Allah menampakkan diri kepada manusia pertama untuk membuka jalan menuju keselamatan di surga. Setelah mereka jatuh, Allah menjanjikan penyelamatan dan tetap menuntun mereka (Kej. 3:15). Ia memelihara manusia dan berjanji untuk mengaruniakan hidup kekal kepada semua orang yang mencari keselamatan dengan bertekun melakukan yang baik (Rm. 2:6-7).
  • Selanjutnya Ailah memanggil Abraham untuk menjadikannya bangsa yang besar. Ailah membina israel, keturunan Abraham yang dipilih-Nya, dengan perantaraan Musa dan para nabi supaya mereka mengakui Dia sebagai satu-satunya Allah yang hidup dan supaya mereka mendambakan _penebus yang dijanjikan.
  • Sesudah semuanya itu, Allah menyatakan diri melalui Putra-Nya. la mengutus Putra-Nya supaya tinggal di tengah manusia dan menceritakan kepada mereka hidup Allah yang terdalam (Yoh. 1:1-18). Melalui ajaran dan karya-Nya Sang Putra menyampaikan Sabda Allah dan kehendak-Nya sehingga setiap orang yang melihat-Nya, melihat Bapa juga (Yoh. 14:9). Melalui ajaran, karya. serta kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus menyatakan kehendak Allah secara penuh.

Manusia Memahami dan Menuliskan

Allah menyatakan diri melalui alam semesta dan sejarah kehidupan manusia yang tinggal di dunia ini. Orang beriman memandang alam semesta (bumi, laut, langit, dan makhluk yang hidup di dalamnya), tetapi ia tidak mendengar suara Allah yang menjelaskan apa arti semua yang dilihatnya itu. ia meiihat alam semesta iaiu merenung: mengapa semua ini ada, siapa yang membuatnya ada, mengapa manusia ada di alam ini, dan seterusnya. Permenungan mereka itu membawa mereka kepada Allah: Dialah yang menciptakan manusia dan alam semesta ini. Dia memiliki kuasa dan hikmat yang tak terhingga sebagaimana tercermin dalam ciptaan-Nya. Allah menempatkannya di alam ini karena ingin manusia berbahagia.

Hal yang sama terjadi ketika orang beriman melihat pengalaman hidup manusia di dunia, baik sebagai pribadi maupun sebagai satu bangsa. Apa yang mereka alami itu kemudian membuat mereka merenung: mengapa peristiwa ini terjadi, apa yang dikehendaki oleh Allah dalam peristiwa ini, dan seterusnya. Misalnya, ketika melihat orang Israel dikalahkan oleh musuh, para nabi menyatakan bahwa Allah menghukum mereka karena sudah berlaku tidak setia kepada-Nya. Mereka juga menyatakan bahwa kekalahan perang itu merupakan peringatan supaya mereka senantiasa berbakti kepada Allah mereka. Demikianlah, dalam terang imannya, orang beriman di masa lampau mengartikan peristiwa – peristiwa sejarah sebagai tindakan Allah dan pernyataan diriNya.

Orang beriman itu kemudiarrmengungkapkan kebenaran-kebenaran yang menyangkut pernyataan diri Allah dan kehendak-Nya yang mereka pahami melalui alam dan sejarah itu. Mula-mula hal ini dilakukan secara lisan secara turun temurun. Para kepala keluarga menuturkannya kepada anak-anak mereka dan seluruh anggota keluarganya mengingatnya. Kemudian, para penulis suci mengungkapkan pernyataan diri Allah itu secara tertulis. Ketika menuliskan semua itu, ada dua hal yang mempengaruhi para penulis suci, yaitu pengaruh tempat dan zaman serta kecakapan pribadi si penulis.

Pengaruh tempat dan zaman. Setiap penulis suci hidup di zaman tertentu dan di tempat tertentu; masing-masing menulis pada waktu yang berbeda dan di tempat yang berbeda pula. Setiap penulis berbicara kepada orang-orang yang hidup di zaman dan tempat tertentu pula. Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditulis dalam rentang waktu yang sangat panjang (1000 SM – 100 M). Pada umumnya, baik penulis suci maupun para pembaca hidup di tempat yang sama, yaitu Timur Tengah Kuno, walaupun beberapa kitab dalam Perjanjian Baru memang ditulis di Eropa (Markus, 1Petrus). Para penulis Perjanjian Lama adalah orang-orang Yahudi dan mereka menulis untuk orang-orang Yahudi pada zamannya. Para penulis Perjanjian Baru berasal dari kalangan Yahudi dan menulis untuk orang-orang Kristiani (sebagian diantara mereka Yahudi, sebagian lain Yunani). Baik penulis maupun pembaca tulisan-tulisan Perjanjian Baru dipengaruhi oleh budaya Yunani.

Para penulis suci merasa, berpikir, berbicara, atau menulis dengan cara yang lazim digunakan pada zaman dan tempat masing-masing. Karena itu, para penulis suci mempergunakan jenis-jenis sastra yang biasa dipergunakan pada zamannya. Misalnya, cerita, puisi/ syair, silsilah, dan sebagainya. Ketika menulis tentu saja mereka mempergunakan bahan-bahan yang memang hidup pada zamannya. Bahan-bahan yang mereka pergunakan untuk menulis itu ada yang diambil dari pengetahuan kuno, cerita rakyat, kisah tentang nenek moyang, hukum dan peraturan yang berlaku pada waktu itu, arsip kerajaan, dan sebagainya.

Kecakapan pribadi. Dalam proses penulisan itu, para penulis mempergunakan kecakapan dan kemampuan mereka. Para nabi memiliki kepekaan yang tajam dalam melihat ketidakadilan dan pemikiran tajam untuk melihat mana yang benar dan yang tidak, mana yang sesuai dengan kehendak Allah dan mana yang tidak. Mereka juga mempunyai kemampuan untuk mengungkapkannya dalam bentuk puisi. Dengan kemampuan ini, mereka dapat mengungkapkannya secara lisan tetapi sekaligus dapat diingat oleh para pendengarnya. Orang-orang berhikmat memiliki keca- kapan untuk memandang kehidupan dan merenung- kan kenyataan hidup manusia dan menemukan kehenh dak Allah. Mereka mempunyai kemampuan untuk mengungkapkannya secara tertulis dengan gaya yang memukau, baik dalam bentuk puisi dan nyanyian, amsal, maupun uraian. Para penulis lnjil memiliki keca- kapan untuk mencerna ajaran para rasul mengenai Yesus dan kepekaan terhadap situasi pendengarnya. Mereka juga memiliki kemampuan yang baik untuk bercerita sehingga dapat menyampaikan cerita dan ajaran Yesus dengan teratur.

Allah mempergunakan kecakapan dan kemampuan yang dimiliki oleh para penulis itu dan menuntun mereka dengan ilham Roh Kudus serta bekerja di dalam dan melalui mereka. Para penulis suci adalah alat yang dipergunakan oleh Roh Kudus untuk menya- takan kehendak Allah. Tetapi, sebagai manusia mereka berakal budi dan memiliki keunikan masing-masing. Setiap penulis mempergunakan segala kemampuan dan kecakapan yang dimilikinya sehingga kekhasan setiap penulis tampak dalam tulisan masing-masing. Demikianlah, Allah menyatakan kehendak-Nya melalui penulis suci sehingga apa yang mereka tulis itu mengungkapkan kehendak Allah sendiri. Karena para penulis mempunyai kemampuan dan kecakapan yang berbeda, masingmasing mengungkapkan kehendak Allah itu dengan corak dan kekhasannya sendiri.

Sabda Yang Tertulis

Tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh para penulis suci itu sekarang tergabung menjadi satu kitab yang terdiri dari dua bagian, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam kitab ini orang beriman dapat menemu- kan pernyataan diri Allah. Dengan membacanya, ia dapat memahami siapakah Allah itu dan apa yang dikehendaki-Nya. Dia adalah Allah yang mengasihi manusia dan menghendaki manusia tinggal dalam kebahagiaan abadi bersama Dia di surga. Di dalamnya, orang beriman juga dapat memahami bagaimana seha- rusnya menjalani kehidupan sesuai dengan kehendak Allah yang telah mengasihinya itu supaya pada akhir- nya dapat berbahagia bersama Allah di surga.

Bagaimana cara Allah mengasihi manusia dan bagaimana wujud kasih Allah itu? Ia menciptakan manusia dan dunia sebagai tempat hidup mereka. Sekalipun manusia memberontak terhadap-Nya, Allah tetap mengasihi mereka dengan memberikan perlindungan kepada mereka. Bahkan, Ia memilih suatu bangsa untuk membawa berkat bagi semua bangsa yang hidup di muka bumi. Kasih Allah kepada manusia itu kemudian terungkap dengan lebih khusus kepada Bangsa Israel yang dipilih menjadi umat-Nya.

Jalan yang dikehendaki Allah untuk dilalui manusia supaya dapat hidup sebagai umat Allah dan sampai pada kebahagiaan itu adalah dengan mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Agar kehendak Allah itu dapat dilaksanakan secara nyata dalam setiap kesempatan hidup, Allah memberkan tuntunan dalam rupa hukum

dan peraturan. Ketika umat menyimpang dari perjan- jian dan tidak hidup sebagai umat Allah, la mengingat- kan mereka dengan berbagai peristiwa dalam sejarah mereka dan melalui para nabi yang diutus-Nya.

Selanjutnya ia membarui janji keselamatan yang abadi itu dalam diri Yesus Kristus, Putra-Nya, yang diutus untuk menyelamatkan manusia. Dalam diri Putra itu Allah menyampaikan kembali rencana-Nya untuk mem- bawa manusia pada kebahagiaan dan apa yang dikehendaki-Nya agar manusia sampai pada kebaha- giaan itu. ia menyatakan betapa besar kasih Allah dengan membebaskan manusia dari kekuasaan dosa dan kematian. Karena telah dibersihkan dari dosa, manusia dipandang“ layak untuk menerima kehidupan abadi bersama dengan Bapa di surga seperti yang sejak semula dikehendaki oleh Bapa. Seperti Kristus telah mengasihi manusia dengan kasih yang paling besar, demikianlah Allah menghendaki manusia mengasihi sesamanya.

II Sabda Allah Dalam Bahasa Manusia

Telah dikatakan bahwa para penulis Kitab Suci mem- pergunakan kecakapan yang mereka miliki untuk menuliskan hanya yang dikehendaki oleh Allah. Mereka berbicara pada orang Israel yang tinggal di Timur Tengah, pada zaman tertentu sehingga tidak iuput dari pengaruh zaman dan tempat mereka hidup. Para penulis suci itu pun mempergunakan cara-cara yang biasa dipergunakan oleh manusia pada zamannya untuk berbicara dan berkomunikasi. Yang sampai sekarang tertulis dalam Kitab Suci dapat kita baca adalah berbagai tulisan dari zaman kuno dengan aneka jenis sastra. Dari antara berbagai tulisan yang terdapat dalam Kitab Suci itu, ada yang berupa cerita, hukum, puisi, amsal, surat, dan sebagainya. Semua tulisan itu memuat kebenaran tentang pribadi Allah dan kehendak-Nya.

Terikat Tempat dan Waktu

Tempat menentukan segala aspek kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya, baik cara hidup, cara berpikir, cara berbicara, cara berinteraksi satu dengan yang lain, bahkan kehidupan religius mereka. Manusia yang hidup di pantai memiliki cara hidup yang berbeda dari cara hidup orang yang tinggal di padang gurun, dataran rendah, pegunungan, atau hutan, Seorang yang hidup di pantai mencari penghidupannya dengan mencari ikan di laut. ia sangat akrab dengan alam pantai dan laut. Pengalamannya dengan laut terung- kap dalam kosakata yang mereka pergunakan, dalam cerita yang mereka sampaikan, dalam lagu yang mere- ka nyanyikan, dan tarian yang mereka miliki. Hal yang sama terjadi dalam masyarakat petani yang tinggal didataran rendah dan dalam masyarakat yang tinggal di hutan atau di padang gurun.

Kitab Suci lahir dalam masyarakat Yahudi yang tinggal di Timur Tengah. Mereka pernah menjadi bangsa pengembara yang tinggal di padang gurun sebelum tinggal sebagai petani di Tanah Kanaan. Mereka pun pernah tinggal di – tanah pembuangan Babilonia. Pengaruh tempat hidup Bangsa israel ini sangat terasa kalau orang membaca Perjanjian Lama. Banyak kata, istilah, ungkapan, dan kebiasaan yang menunjukkan bahwa semua itu berasal dari masyarakat gembala dan petani. Banyak lagu kiasan, gambaran. dan lambang yang diambil dari hidup kegembalaan dan pertanian. Sistem penggembalaan dan pertanian yang mereka lakukan berbeda dari yang dilakukan di tempat lain. Mereka menanam jelai dan gandum, bukan padi. Me- reka menanam anggur dan ara, bukan pepaya atau rambutan. Mereka memelihara ternak dalam jumlah besar sehingga binatang-binatang itu dijaga dan digembalakan di padang.

Selain tempat waktu juga mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam perjalanan waktu teknologi kehidupan dan kebudayaan manusia berkembang. Cara berpikir dan berbicara pun berubah. Misalnya, di zaman modern ilmu pengetahuan berkembang pesat. Banyak hal yang ada dalam dunia ini dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Di masa lampau penjelasan ilmiah belum ada dan pengetahuan manusia sangat terbatas karena semata-mata bergantung pada indera. Banyak hal yang mereka persoalkan dijawab dengan mempergunakan mitologi atau legenda. Masyarakat Sunda kuno menjelaskan mengapa ada gunung yang berbentuk seperti perahu terbalik dengan cerita rakyat, sedangkan para ahli modern menjelaskannya dengan sejarah aktivitas vulkanik gunung itu. Ini terjadi karena masyarakat kuno belum mengenal vulkanologi atau geologi.   Kitab Suci mulai ditulis sekitar 1000 SM dan bagian- bagian tertentu Perjanjian Baru ditulis menjelang tahun 100 M. Bahan-bahan yang tertulis di dalamnya menyangkut juga zaman yang jauh lebih kuno. Cara berpikir dan cara berbicara masyarakat kuno pun banyak terungkap dalam Kitab Suci. Banyak kosakata yang tidak Iagi dipergunakan karena pengalaman hidup mereka juga berkembang. Bahkan pemahaman mereka tentang kehidupan masyarakat manusia dan tentang Allah pun banyak mengalami perubahan. Sebagai contoh, perhatikan dua ha! berikut ini:

  • Cara mendidik anak. Para orangtua dalam masya- rakat Israel zaman kuno mempergunakan cara yang keras untuk membuat anak disiptin (Ams. 23:13-14; 13:24; 20:30). Cara itu tidak dapat dipergunakan untuk mendidik anak zaman sekarang.
  • Pemahaman tentang keadilan’ Allah. Dahulu manusia belum sampai pada keyakinan akan kebangkitan badan dan kehidupan kekal. Allah memberikan ganjaran dan hukuman kepada manusia di dunia ini. Menjelang akhir masa Perjanjian Lama pandangan tentang ha! ini telah berubah. Orang Yehudi telah sampai pada keya- kinan akan kebangkitan badan dan kéhidupan kekal. Ganjaran dan hukuman untuk manusia akan diberikan seteiah kehidupannya di dunia berakhir.

Mempergunakan Bentuk Sastra

Konsili Vatikan II menyatakan bahwa semua yang diwahyukan oleh Allah dan tertulis dalam Kitab Suci dikarang oleh Allah dan ditulis dengan ilham Roh Kudus (Dei Verbum 11). Dalam mengarang kitab-kitab daiam Kitab Suci, Allah telah memilih para penulis suci lalu bekerja di dalam dan melalui mereka. Dalam bekerja para penulis suci mempergunakan kecakapan dan kemampuan mereka untuk menuliskan hanya yang dikehendaki oleh Allah. Mereka berbicara pada orang Israel yang tinggal di Timur Tengah, pada zaman tertentu sehingga tidak luput dari pengaruh zaman dan tempat mereka hidup. Mereka pun memperguna- kan cara-cara yang biasa dipergunakan oleh manusia pada zamannya untuk berbicara dan berkomunikasi dengan sesama.

Cara berbicara dan berkomunikasi meliputi berbag’ai jenis sastra yang dipergunakan oleh manusia zaman itu. Jenis-jenis sastra ini dipakai untuk mengemas pesan dan kebenaran yang hendak disampaikan oleh para penulis atau penutur. Peribahasa harus dibaca sebagai peribahasa. untuk dapat memahami pesan yang disampaikan di dalamnya. Jika tidak. orang akan keliru menangkap maksud yang hendak disampaikan oleh si penutur. Ketika mendengar “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. orang tidak akan menganggapnya sebagai tindakan yang keliru: menaruh nila dalam belanga susu itu!” la sudah mengetahui bahwa kalimat itu adalah peribahasa, untuk mengungkapkan rusaknya nama kelompok karena perilaku buruk satu orang anggotanya atau rusaknya banyak kebaikan karena satu keburukan. Demikian juga. kalau orang membaca midrash atau cerita bermakna harus dibaca sebagai cerita; kalau dibaca sebagai tulisan sejarah, kesimpulan yang diambilnya pasti akan keliru dan pesannya tidak akan dipahami.

Karena dalam Kitab Suci Allah bersabda melalui manusia dan dengan bahasa manusia, Konsili Vatikan II mengingatkan agar setiap tulisan dalam Kitab Suci harus dibaca menurut jenis sastra yang dipergunakan- nya (Dei Verbum 12). Jenis sastra menjadi petunjuk bagaimana sebuah tulisan harus dibaca dan dipahamin Orang harus_ memperhatikan jenis sastra yang dipergu- nakan lalu menyelidiki apa yang disampaikan oleh para penuiis suci (hagiograf) dan apa yang disampaikan oleh Allah dengan kata-kata mereka. Kalau tidak, orang akan mengambil simpulan yang sama sekali tidak dimaksudkan oleh penulisnya. Selain itu, Kitab Suci dibacakan di hadapan umat dan untuk umat supaya umat dapat memahami pesan yang disampaikan di dalamnya. Sabda itu harus dibacakan dengan baik dan benar supaya umat dapat mengerti Sabda yang disampaikan oleh Allah. Seorang pembaca harus mem~ buat huruf-huruf yang tertulis dalam kertas itu menjadi Sabda yang hidup, yang dapat menggerakkan pende- ngar untuk berlaku sebagaimana disampaikan dalam Kitab Suci. Sebuah kutipan Kitab Suci seharusnya dibaca menurut jenis sastranya. Jika kutipan itu berupa cerita, sebaiknya dibaca sebagai cerita; jika berupa puisi, hendaknya juga dibaca sebagai puisi.

Kebenaran Iman

Kitab Suci tidak dimaksudkan sebagai buku ilmu penge- tahuan mengenai aiam, masyarakat, dan sebagainya, tetapi sebagai buku iman. Ketika membaca Kitab Suci. yang harus dicari adalah kebenaran iman yang menyangkut kebenaran mengenai Allah dan kehen- dak-Nya. Tetapi, kebenaran iman itu disampaikan oleh para penulis yang berasal dari zaman kuno dan para penulis itu menyampaikannya dengan jenis-jenis sastra yang biasa dipergunakan pada zaman mereka. Karena itu, perlu diingat bahwa unsur-unsur pengetahuan dan budaya yang terkandung di dalamnya serta jenis sastra yang dipergunakan hanyalah sarana untuk menyampaikan kebenaran itu

Kalau terdapat ketidaksesuaian antara Kitab Suci dengan ilmu pengetahuan berkaitan dengan persoalan alam dan sejarah, hal ini tidak perlu membuat bingung karena ilmu yang dipergunakan masih primitif. Perlu diperhatikan juga bahwa pengetahuan alam dan sejarah itu bukanlah kebenaran yang dicari di dalam Kitab Suci. Misalnya, manusia zaman itu yakin bahwa langit itu berbentuk kubah yang menahan air yang ada di atasnya (Kej. 1). Bukan persoalan ilmu alam seperti ini yang diwahyukan oleh Allah, melainkan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah, semua yang diciptakan oleh Allah, dan bahwa Allah berkuasa atas seluruh alam semesta. Demikian juga, bila orang membaca Kitab Keluaran, bukan kebenaran-kebenaran sejarah yang hendak diwahyukan melainkan bahwa Allah menaruh perhatian pada orang-orang yang tertindas, membebaskan mereka, dan memilih mereka menjadi umat-Nya. Keselamatan manusia tidak akan terpengaruh oleh kenyataan bahwa ada unsur pengetahuan dan sejarah dalam Kitab Suci yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.

III Membaca Alkitab

Firman Allah yang tertulis itu membeku dalam sebuah kitab, yang diwariskan kepada kita. Kitab inilah yang dapat kita baca setiap kali kita menginginkannya. Firman itu harus dihidupkan kembali supaya menjadi firman yang berkuasa dan menggerakkan kehidupan kita. Sebagaimana para penulis kitab suci menuliskan firman itu dengan iman mereka, yang dapat membuat firman itu hidup kembali adalah kepercayaan umat yang membaca dan menanggapinya.

Memahami Kebenaran Iman

Telah dikatakan bahwa para penulis Kitab Suci mem- pergunakan kecakapan yang mereka miliki untuk menuliskan hanya yang dikehendaki oleh Allah. Mereka berbicara pada orang Israel yang tinggal di Timur Tengah, pada zaman tertentu sehingga tidak luput dari pengaruh zaman dan tempat mereka hidup. Para penulis suci itu pun mempergunakan cara-cara yang biasa dipergunakan-oleh manusia pada zamannya untuk berbicara dan berkomunikasi. Yang sampai sekarang tertulis dalam Kitab Suci dapat kita baca adalah berbagai tulisan dari zaman kuno dengan aneka jenis sastra. Dari antara berbagai tulisan yang terdapat dalam Kitab Suci itu, ada yang berupa cerita, hukum, puisi, amsal, surat, dan sebagainya. Semua tulisan itu memuat kebenaran tentang pribadi Allah dan kehendak-Nya.

Kita membaca Kitab Suci bukan untuk mencari kebenaran historis, walaupun di dalamnya terkandung unsur-unsur sejarah. Kita membacanya juga bukan untuk mencari kebenaran ilmiah, walaupun ada unsur- unsur pengetahuan kuno di dalamnya. Tetapi, kita membaca Kitab Suci untuk menemukan kebenaran iman yang terkandung di dalamnya. Kebenaran iman itu terlepas dari pengaruh budaya dan zaman serta tempat sehingga tetap berlaku sampai sekarang. Kebenaran itulah yang “berbicara kepada kita dalam situasi kita sekarang untuk menjadi tuntunan hidup orang beriman. Dengan cara demikian, Allah berbicara dan menyatakan kehendak-Nya kepada kita dalam situasi kita sendiri. Bila telah memahaminya, kita pun akan dapat memberikan tanggapan yang sesuai, baik dalam doa maupun dalam tindakan.

Untuk menemukan maksud para penulis suci hal-hal berikut ini perlu diperhatikan:

  • Memperhatikan jenis-jenis sastra yang diperguna- kan untuk mengungkapkan kebenaran iman.
  • Karena berasal dari tempat dan zaman tertentu, isi kitab suci pertama-tama perlu dipahami dalam latar belakang tempat dan zamannya sehingga apa yang tertulis di dalamnya dapat dipahami dengan baik.

Membaca menurut Jenis Sastra

Kita masih ingat bagaimana dampak Da Vinci Code bagi orang Kristiani. Banyak berita buruk bahkan fitnah disebarkan untuk merusak kehidupan iman Kristiani. Banyak orang Kristiani sendiri juga menghadapi herba? gai kebingungan lalu mempertanyakan imannya sen- diri. Sebenarnya masalahnya sederhana: buku itu adalah novel tetapi dibaca sebagai sejarah. Lalu, nilai kesejarahan itu dipergunakan untuk menggugat nilai kesejarahan Alkitab. Kesimpulannya, isi Alkitab diperta- nyakan kebenarannya karena tidak sesuai bahkan bertentangan dengan “sejarah” yang terungkap dalam novel itu. Kekeliruan dalam membaca teks menurut jenis sastranya bisa membuat orang salah menangkap pesan yang hendak disampaikan.

Karena Sabda Allah telah ditulis dalam bahasa manu- sia, ketika membaca Kitab Suci, orang perlu memper- hatikan bahasa manusia yang dipergunakan itu. Dengan kata lain, orang harus memperhatikan jenis sastra yang dipergunakan lalu menyelidiki apa yang disampaikan oleh para hagiograf dan apa yang disam- paikan oleh Allah dengan kata-kata mereka. Sebuah peribahasa haruslah dibaca sebagai peribahasa, untuk dapat memahami pesan yang disampaikan dalam peribahasa itu. Kalau orang mendengar “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”, orang tidak akan men- jadi marah lalu berkata, “Siapa yang berlaku bodoh dengan menaruh nila dalam belanga susu itu!” atau kecewa lalu berkata, “Di mana belanga susu itu ditaruh, kok sampai kena nila?” Orang sudah menge- tahui bahwa kalimat itu adalah sebuah peribahasa, yang dipakai untuk mengungkapkan rusaknya nama kelompok karena perilaku buruk satu orang anggotanya atau rusaknya banyak kebaikan karena satu keburukan.

Dalam Gereja Kitab Suci dibacakan di hadapan umat dan untuk umat supaya umat dapat memahami pesan yang disampaikan di dalamnya. Sabda itu harus dibacakan dengan baik dan benar supaya umat dapat mengerti Sabda yang disampaikan oleh Allah. Seorang pembaca harus membuat huruf-huruf yang tertulis dalam kertas itu menjadi Sabda yang hidup, yang dapat menggerakkan pendengar untuk berlaku seba- gaimana disampaikan dalam Kitab Suci. Sebuah kutip- an Kitab Suci haruslah dibaca menurut jenis sastranya. Jika kutipan itu berupa perumpamaan, bacalah sebagai perumpamaan; bila berupa surat, bacalah sebagai surat; bila berupa puisi, bacalah sebagai puisi.

Memperhatikan Tempat dan Waktu

Telah dikatakan bahwa Alkitab ditulis oleh orang Yahudi/Kristiani yang hidup dalam Israel khususnya dan dunia Yunani pada umumnya. Karena itu, untuk dapat memahami tulisan yang ada di dalam Kitab Suci, orang perlu “masuk” ke dalam dunianya. Dengan mempelajari sejarah, geografi, sosiologi, dan sebagai- nya, orang akan dapat memahami apa yang sebenar- nya dimaksudkan oleh para penulis Kitab Suci. Selain itu, orang juga akan dapat memahami situasi ketika tulisan-tulisan itu disampaikan kepada orangorang pada zamannya dan kekuatan Firman Allah bagi mere- ka. Untuk memahami apa yang tertulis dalam Alkitab, kita perlu mencari keterangan tentang mengenai kebiasaan dan cara hidup yang berkaitan dengan teks yang kita. Dengan demikian, kita akan dapat memahami kebenaran imannya dengan lebih jelas.

IV Membaca Cerita

Kitab Suci berisi Sabda Allah yang ditulis dalam bahasa manusia. Ketika membaca Kitab Suci, orang perlu memperhatikan bahasa manusia yang dipergunakan itu. Dengan kata lain, orang harus memperhatikan jenis sastra yang dipergunakan lalu menyelidiki apa yang disampaikan oleh para penulis dan apa yang disampaikan oleh Allah dengan kata-kata mereka. Sebuah peribahasa haruslah dibaca sebagai peribahasa. untuk dapat memahami pesan yang disampaikan dalam peribahasa itu. Demikian juga cerita haruslah dibaca sebagai cerita. Dalam tulisan ini akan disampaiv kan cara sederhana untuk memahami perikop-perikop Kitab Suci yang berupa cerita.

Hiburan dan Pesan

Cerita merupakan proses pengaitan sebuah peristiwa dengan peristiwa lain dalam urutan waktu. Peristiwa yang disampaikan itu bisa sungguh-sungguh terjadi, maupun merupakan khayalan: bisa terjadi di masa lampau maupun di masa sekarang. Cerita disampaikan dengan tujuan tertentu, sebagaimana dikehendaki oleh penceritanya. Ada cerita yang disampaikan sema- ta-mata hanya untuk menghibur; misalnya, cerita lucu yang disampaikan sekedar membuat orang tertawa. Tetapi, cerita sekaligus menghibur dan menyampaikan pesan atau kebenaran. CDntoh paling jelas dalam hal ini adalah cerita rakyat. Orang senang mendengarkan- nya karena menghibur dan menerima pesan yang disampaikan dalam cerita itu. Cerita mempunyai ciri istimewa dalam menyampaikan kebenaran. Ketika mendengarkan atau membaca cerita, orang tidak merasa diajar atau digurui, tetapi diajak berpikir, memahami, ikut merasakan, dan membuka cakrawala hati dan budi.

Hal yang senada berlaku juga untuk cerita dalam Kitab Suci. Para penulis Kitab Suci menuliskan berbagai cerita untuk menyampaikan pesan yang pada dasarnya merupakan kebenaran iman. Cerita-cerita dalam Kitab Suci mendekatkan pembaca dengan kebenaran-kebe- naran iman dan membawanya pada kebenaran itu. Cerirta-cerita dalam Kitab Suci mengungkapkan dua hal berikut ini:

  • pengalaman manusia akan Allah dan keterlibatan- nya dalam kehidupan manusia. Dalam cerita-cerita itu kita dapat melihat Allah dalam berbagai gam- baran. Satu atau beberapa cerita mengungkap kan satu aspek dari pribadi Allah atau manusia. Cerita yang lain menampilkan aspek lain lagi. Semakin banyak kita membacanya, kita pun akan semakin mengenal Allah yang telah menyatakan diri kepada manusia.
  • pengalaman manusia menanggapi keterlibatan Allah itu. Dalam cerita-cerita itu kita dapat juga melihat bagaimana manusia menanggapi Allah yang menyatakan diri itu. Dengan memperhati- kan pengalaman orang-orang yang telah menga’ lami keterlibatan Allah itu, kita dapat belajar bagaimana seharusnya berlaku dan bersikap sebagai orang-orang yang percaya kepada Allah.

Orang bisa saja menganggap enteng sebuah cerita, hanya sekedar lelucon. Atau orang juga bisa mengang- gap serius, dan mengambil hikmah dari padanya dengan merefleksikan dan mendalami cerita itu. Orang beriman membaca cerita-cerita dalam Kitab Suci bukan sekedar mencari hiburan, tetapi untuk lebih mengenal Allah dan kehendak-Nya dan untuk hidup menurut kehendak-Nya itu. Dengan kata lain, tujuan pembaca- an cerita Kitab Suci adalah untuk memahami pesan yang terkandung di dalamnya agar dapat berdoa berdasarkan pesan itu dan agar dapat menjadikannya sebagai pedoman hidup. Untuk mencapai tujuan itu kita perlu memahami ceritanya sendiri dengan baik. Agar dapat memahami sebuah cerita dengan baik. kita perlu memahami unsur-unsur yang membentuknya. Selanjutnya, kita harus menemukan pesan yang sebenarnya disampaikan dalam cerita itu.

Unsur-unsur Cerita

Ketika mendengar sebuah kejadian, orang akan segera mengaju-kan beberapa pertanyaan. Siapa yang mela- kukan, siapa yang menjadi kurbannya? Bagaimana kejadiannya? Kapan dan di mana kejadiannya berlang- sung? Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya langsung menunjuk pada unsur-unsur sebuah cerita.

Latar/Setting. Latar adalah waktu dan tempat terjadi- nya peristiwa dalam sebuah kisah Latar dapat digam- barkan secara hidup dan terperinci, dapat juga hanya disampaikan secara sekilas, sesuai dengan fungsi dan perannya dalam kejadian yang berlangsung. Latar dapat menjadi unsur penting dalam kaitannya dengan kejadian yang berlangsung atau hanya sebagai unsur tambahan saja. Bisa jadi satu cerita memiliki beberapa latar sekaligus, Misalnya, dalam cerita (perumpamaan tentang anak yang hilang) latamya berpindah dari rumah bapa, kemudian beralih ke negeri yang jauh tempat si bungsu pergi, lalu kembali ke rumah bapa lagi.

Alur/Plot. Alur atau plot merupakan penataan kejadiv an dalam cerita yang mengungkapkan kesinambungan dan pertalian antara kejadian-kejadian tersebut. Alur menandai kapan sebuah cerita mulai dan kapan berakhir. Ada bagian yang mengawali cerita, ada bagian yang merupakan perkembangan dari situasi awal, dan ada bagian yang mengakhiri cerita.

Tokoh/Karakter. Tokoh adalah individu yang meng- alami peristiwa atau yang bertindak dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh-tokoh dalam cerita dibedakan dalam tokoh utama dan tokoh tambahan. Yang disebut sebagai tokoh utama adalah tokoh ter- penting dalam cerita, namun tidak dengan sendirinya mewakili sifat-sifat yang_luhur karena ia juga bisa bersifat negatif. Tokoh utama terbagi menjadi dua: protagonis, yakni tokoh yang paling penting dalam sebuah cerita, dan antagonis, yakni tokoh utama yang seringkali merupakan tokoh jahat, yang menyusahkan tokoh protagonis atau berlawanan dengannya. Sedangkan yang disebut tokoh tambahan adalah tokoh yang sifat-sifat serta perilakunya berfungsi untuk mendukung penokohan tokoh utama. Dalam memba- ca cerita-cerita Kitab Suci, tokoh yang berperanan biasanya tidak diperkenalkan oleh pencerita melalui cerita; mereka memperkenalkan diri melalui dialog, bahasa yang mereka gunakan, serta bentuk dan isi kalimat. Seringkali bahkan kalimat pertama yang diucapkan seorang tokoh merupakan suatu potret diri pembicara. Contoh, kalimat pertama yang diucapkan oleh Uria dalam 25am. 11:11 (walaupun Uria sudah bicara banyak menurut ayat 7) mengungkapkan keluhuran budinya.

Bagaimana Membacanya?

Kita telah melihat unsur-unsur yang membentuk sebuah cerita, termasuk cerita yang ada dalam Kitab Suci.Apa yang harus dilakukan agar dapat memahami isi cerita dan menangkap pesan yang disampaikan di dalamnya? Berikut ini adalah langkah-langkahnya:

  1. Mengamati Alur Cerita. Tuliskan kejadian-kejadian dalam perikop secara berurutan (=alur) dan hubungan antara satu kejadian dengan kejadian yang lain. Lalu amatilah situasi di setiap kejadian: apa yang sesung guhnya terjadi, apa akibat-akibatnya, bagaimana kaitannya dengan kejadian sebelum dan sesudahnya, dan sebagainya. Jika memungkinkan, carilah keterang- an-ke’terangan mengenai hal-hal yang ada dalam cerita tersebut supaya ceritanya dapat dipahami dengan lebih baik. Keterangan ini bisa dicari dari perikop lain dalam Kitab Suci, kamus, atau buku tafsir. Jika sarana- sarana itu tidak dapat ditemukan, kita tidak perlu merepotkan diri dengan mencariiarinya. Kenyataan ini juga bukan alasan untuk tidak membaca Kitab Suci.
  2. Belajar dari Tokoh. Pesan dari sebuahkcerita tersem- bunyi dalam tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Dalam diri tokoh-tokoh itu kita dapat menemukan sikap dan perbuatan yang pantas kita teladan. Di dalam diri mereka kita juga dapat menemukan sikap dan perbuatan negatif yang tidak layak untuk kita ikuti. Amati dan perhatikan tokoh-tokoh yang tampil dalam kisah, satu demi satu: apa yang ia lakukan, katakan, rasakan, caranya berinteraksi dengan tokoh- tokoh lain. Kemudian renungkan apa yang dapat dipelajari dari tiap-tiap tokoh: sikap dan perbuatan yang keliru dan harus dihindari, sikap dan perbuatan yang dapat diteladan.
  3. Berdoa. Dalam diri tokoh-tokoh itu, kita telah “mendengarkan” Tuhan berbicara kepada kita dan menunjukkan apa yang dikehendaki-Nya. Sebagai tanggapan terhadap firman yang baru kita dengarkan itu, kita menyampaikan doa kepada Allah. Doa kita bisa berupa ucapan syukur, pujian, tetapi juga permohonan agar dapat menjalankan kehendak-Nya yang baru saja kita dengarkan.
  1. Membaca Amsal

Pengalaman menunjukkan bahwa ada rangkaian peristiwa yang berulang dan berlaku untuk semua manusia. Misalnya, orang yang malas tidak akan menjadi kaya, tetapi akan menjadi miskin. Anak yang bodoh akan membuat malu orangtuanya. Pengalaman menunjukkan bahwa dari dulu sampai sekarang, dari satu tempat ke tempat lain, orang yang malas tidak akan dapat menjadi kaya. Dari kenyataan ini. tampak bahwa banyak hal dalam kehidupan manusia terjadi menurut suatu hukum yang tetap. Para cendekiawan kuno telah berusaha menangkap dan merumuskan hukum-hukum dan aturan-aturan yang akan dapat …gantar manusia pada sukses dan pada hidup yang :’carmonis. Dalam perumusan ini dipergunakan kalimat- kaiimat lugas yang singkat namun padat atau dengan metafora, yang berisi nasihat tentang bagaimana harus menjalani kehidupan. Perumusan hukum itu sangat dipengaruhi oleh zaman dan tempat hidup para pelakunya. Kitab Amsal pada dasarnya berisi rangkaian nasihat yang dirumuskan dari pengalaman hidup manusia untuk menjadi petunjuk bagi kaum muda dalam menjalani kehidupan mereka.

Sekilas Mengenai Kitab Amsal

Di antara kitabkitab hikmat bisa jadi Amsal merupakan faziab yang paling popular bagi para pembaca Alkitab. Di dalamnya dapat ditemukan nasihat atau petunjuk ;waktis tentang bagaimana menjalani kehidupan sahari-hari. Kata mashal sendiri dapat berarti teka-teki, peribahasa, pepatah, ucapan, atau wejangan. Judul kitab ini memberikan gambaran mengenai isinya. Kitab ini merupakan kumpulan dari sejumlah kumpulan neribahasa. pepatah, nasihat. dan wejangan, yang mencakup segi-segi kehidupan manusia (kerja, sikap, dan sebagainya) apa pun goiongan/status sosialnya datam masyarakat (raja, pedagang, petani, anak-anak, wangtua). Dengan kata lain, ajaran yang disampaikan dalam kitab ini merangkum seluruh aspek kehidupan %hari-hari dari semua golongan masyarakat.

Walaupun judul menyebut Salomo sebagai penulis, tidak dapat dikatakan bahwa Kitab Amsal berasal hanya dari Salomo. Bukalah kitab ini dan perhatikan frasa-frasa berikut: “AmsaI-amsal Salomo” (ion), “Juga ini adalah amsal-amsal dari orang bijak” (24:23), Perkataan Agur bin Yake dari Masa” (30:1), “Inilah Perkataan Lemuei, raja Masa, yang diajarkan ibunya kepadanya” (31:1). Semua ini menunjukkan dengan jelas bahwa Kitab Amsal tidak ditulis oleh satu orang. Kitab Amsal merupakan hasil penggabungan dari sejumlah kumpulan amsal tersendiri, yang kemudian diberi judul “Amsal-amsal Salomo” untuk menghormati orang yang mempunyai pengaruh besar dalam tradisi kebijaksanaan Israel.

Tujuan dan Bentuk

Untuk dapat memahami isi dari setiap amsal, perlu diketahui tujuan perumusan amsal yang bersangkutan dan bentuk yang dipergunakan dalam perumusan itu. Dengan cara demikian, makna yang dimaksudkan menjadi lebih jelas dan lebih mudah dimengerti.

Tujuan. Ada amsaI-amsal yang secara langsung mem- beri-kan nasihat. Amsai-amsai ini mendorong orang untuk melakukan (atau tidak melakukan) sesuatu. Untuk memberikan motivasi disampaikan dasar dan alasan (digunakan kata “sebab” atau “karena”) atau tujuan dan hasil yang diharapkan (digunakan kata “supaya” atau “maka”). Contoh:

Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala reneanamu (163).

Siapa mengumpat, membuka rahasia, sebab itu janganlah engkau bergaul dengan orang yang bocor mulut (20:19)

Ada amsai-amsal yang menyajikan kenyataan hidup secara objektif. Penyajian ini dilakukan antara lain dengan memberikan deskripsi. Misalnya, gambaran tentang orang miskin dan gambaran tentang orang malas. Hal ini juga dilakukan untuk menjelaskan hubungan antara perbuatan dengan akibat yang ditimbulkannya. Dalam amsaI-amsal tersebut para guru hikmat semata-mata melukiskan apa yang mereka amati, tanpa memberikan penilaian, dalam arti mem- benarkah atau menyalahkan, memuji atau menceia. Para murid harus menilai sendiri positif atau negatifnya untuk kemudian mengambil sikap yang benar. Contoh:

Orang yang bijak lebih benwibawa dari pada orang kuat,

juga orang yang berpengetahuan dari pada orang yang tegap kuat.

Karena hanya dengan perencanaan engkau dapat berperang,

dan kemenangan tergantung pada penasihat yang banyak (24:5-6).

Memikirkan kebodohan mendatangkan dosa, dan si pencemnnh adalah kekejian bagi manusia (24:50-

Tetapi, ada juga amsal-amsal yang menyajikan kenyata- an hidup sekaligus memberikan penilaian terhadap hal itu. Penilaian ini dilakukan baik secara eksplisit maupun secara implisit. Dalam amsal-amsal ini para murid dibantu dalam menilai tindakan manusia dan dalam mengambil keputusan untuk bersikap. Amsal deskriptif ini pada dasarnya disampaikan untuk memberikan

nasihat secara halus, tanpa menggunakan kalimat perintah.

Lebih baik menjadi orang kecil, tetapi bekerja untuk diri sendiri,

daripada berlagak orang besar, tetapi kekurangan makan. (12:9)

Sifat yang diinginkan pada seseorang ialah kesetiaannya;

lebih baik orang miskin daripada seorang pembohong (19:22).

Paralelisme. Pada umumnya amsal terdiri dari dua baris yang sejajar atau paralel. Kesejajaran ini dapat berupa kesamaan gagasan, pertentangan, atau penjelasan.

Ada tiga jenis paralelisme yang dapat ditemukan dalam Kitab Amsal:

  1. paralelisme antitetis: baris yang kedua menyatakan gagasan yang bertentangan dengan baris pertama. Contoh:

Siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budh siapa tidur pada waktu panen membuat malu (105).

  1. paralelisme sinonim: baris kedua menyatakan gagasan yang senada dengan baris pertama. Contoh:

Kecongkakan mendahului kehancuran. dan tinggi hati mendahului kejatuhan (16:18).

  1. paralelisme sintetis: baris kedua melengkapi atau menjelaskan baris pertama. Contoh:

TUHAN membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing -masing,

bahkan orang fasik dibuat-Nya untuk hari malapetaka (16:43).

Lugas dan metafora. Menurut gaya bahasanya ucapan- ucapan bijak dalam Kitab Amsal dapat dibedakan

menjadi dua. Ada amsal yang menggunakan kalimat lugas, ada juga yang menggunakan perbandingan.

  1. Kalimat lugas menyatakan sesuatu secara langsung sehingga dengan membaca kalimat itu orang langsung dapat memahami maksudnya. Contoh:

Janganlah kerap kali datang ke rumah sesamamu, supaya jangan ia bosan, lalu membencimu (25:17).

Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air (25:11).

  1. Kalimat metafora menyampaikan sesuatu dengan menggunakan hal lain sebagai perbandingan. Dengan kata lain, ajaran diungkapkan dengan menggunakan analogi yang dipilih dari benda atau kejadian yang dilihat atau dialami dalam kehidupan sehari-hari sehingga lebih mudah dipahami. Untuk memahami pesan yang terkandung di dalamnya orang harus memahami bahan pembanding yang dipergunakan. Contoh:

Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak (25:11)

Seperti pintu berputar pada engselnya, demikianlah si pemalas di tempat tidurnya (26:14).

Beberapa Contoh

Ams. 29:15 berbicara mengenai cara orangtua mendidik anaknya.

Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya.

Tongkat dimaksudkan untuk memukul anak ketika ia ketahuan bersalah. Teguran dimaksudkan untuk mengoreksi anak yang bersalah. Kedua sarana itu dipakai untuk mendidik anak, untuk mengarahkan anak menjadi seorang yang dewasa dan berhikmat. Ia belum dapat melihat maksud yang sesungguhnya dari orangtuanya itu. Tetapi, ada juga orangtua yang tidak mau menegur atau mengingatkan atau memukul anaknya. Ia tidak sampai hati melihat anaknya sedih karena dimarahi, atau kesakitan karena dipukul atau patah semangat karena ditegur. Rasa kasihan seperti ini tidak akan pernah dapat menolong anak menjadi seorang yang dewasa. Kesalahan anak akan dibiarkan dank arena itu anak akan terus mengulangi kesa— lahannya. Ia tidak sanggup membedakan mana tindak— an yang baik dan benar dan mana yang jahat dan salah. Jika demikian orangtua sendiri akan turut menanggung akibatnya. Dikatakan bahwa anak yang dibiarkan seperti itu akan mempermalukan ibunya.

Ams. 27:6 mempertentangkan sikap seorang kawan dan seorang lawan.

Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah limpah.

Amsal ini mengingatkan orang agar tidak tertipu oleh penampilan fisik dari orang yang mengaku sebagai kawan. Seorang sahabat sejati menghendaki hanya yang baik bagi sahabatnya. Kadang memang yang baik itu harus dicapai lewat jalan yang menyakitkan. Misalnya, kritik dan teguran yang disampaikan kepada kita terasa sebagai kata-kata yang menusuk hati. Tetapi, kalau itu disampaikan oleh seorang yang sungguh-sungguh menghendaki kebaikan kita, semua- nya akan membantu kita memperbaiki diri. Sebaliknya, seorang lawan bisa tampil sebagai orang yang tampaknya baik kepada kita. Di hadapan kita, ia memuji kita, tetapi di belakang kita dia menjual diri kita. Untuk apa ia tampil sebagai “orang baik” di hadapan kita? Agar kita senang dan mengikuti kemauannya.

Ams. 10:26 memberikan nasihat mengenai kemalasan; orang yang malas tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga orang yang mempekerjakannya. Seperti cuka bagi gigi dan asap bagi mala, demikian si pemalas bagi orang yang menyuruhnya. Dalam amsal ini, cuka, asap, dan pemalas memiliki kesamaan: merupakan gangguan, tidak menyenangkan, tetapi sulit diatasi. Seorang majikan mengharapkan para pekerjanya melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Sebagai gantinya, mereka akan mendapatkan upah. Tetapi seorang pekerja yang malas tidak memiliki minat dan semangat untuk bekerja. Akibatnya, pekerjaan yang dipercayakan kepada mereka tidak pernah beres. Majikan yang menyuruhnya jelas terganggu, ia sudah harus memberi upah, tetapi pekerjaannya tidak beres. Dengan kata lain, seorang pekerja yang malas hanya menjadi gangguan bagi orang yang menyuruhnya, seperti cuka bagi gigi dan asap bagi mata.

-YM Seto Marsunu-.

adminrafael

Admin Rafael